Jumat, 14 Januari 2011

jam dan kamera

BAB SATU
03.05 pagi , begitulah si biru bundar didinding berkata padaku. Dengan lelah karna lengannya harus terus berputar sepanjang usia, dia seolah memberi isyarat bahwa ini bukan lagi jam normal bagi seorang manusia untuk beraktifitas. Tapi apa urusannya? Aku memang bukanlah seorang yang hidup dalam kenormalan dunia.
Ada tiga macam benda yang sedang merasukiku malam ini. Cangkir putih dengan ampas hitam yang kutahu telah 3 jam mengering karena dingin malam, tapi tetap saja kutarik kebibir seolah masih ada yang bisa diminum. Sebuah bentuk balok dengan tombol numerik 0-9 bersekutu dengan lambang-lambang alfabet yang dari tadi tak hentinya bergetar diatas permukaan meja kayu ini. Memberikan pola nada indah yang sedikit menciptakan warna diotakku. Lalu benda persegi ditelapak tangan yang terus kugenggam beberapa hari ini. Sebuah benda yang orang-orang menyebutnya dengan digital camera. Yang sungguh ingin kunyalakan untuk melihat seluruh gambar yang tersimpan didalamnya.
Begitu besar keinginanku, begitu dalam pula rasa takut yang menghadang. Memberi efek getar yang jauh melebihi getaran handphone yang semalam ini terus mendapat panggillan yang aku tak tertarik sedikitpun untuk melihat, apalagi mengangkatnya. Sungguh kasihan sekali, handphone dengan usia sangat uzur yang kudapat dari pasar maling di bantaran kali. Ya... meski tak seprihatin diriku, berkaca kedalam diri yang sungguh tak lebih dari seekor ayam tak berbulu. Kedinginan dibawah terik derita malam ini. Dingin... sepi dan beku.
Sebenarnya kenapa dan bagaimana pertanyaan itu mendatangi kepala malang ini? Aku sudah menghabiskan hampir tiga kali matahari terbit untuk mencoba mencari jawabannya. Hasil yang kudapat hanyalah sebuah rasa takut yang meski tanpa benang,tapi kuat menyelimutiku, mengikat dalam jiwa. Entah gambaran apa yang terekam, tapi pasti merupakan hal yang kan mengubah hidupku kedepan.
Namaku langit, sebuah nama yang mewakili harapan ayahku dahulu hingga kini. Meski kini beliau tiada lagi bisa meraba keangkuhanku secara langsung. Karena batas dunia itu. Ternyata selain harapan dan kegigihan yang terwakilkan oleh doa dalam nama ini, sifat angkuh dan ketidakpercayaanku pada hal selain diriku juga menjadi sifat dasar dari nama ini. Entah itu salah sang nama yang tinggi bergantung disana, atau memang diriku saja yang tak mau dipersalahkan oleh keadaanku yang aku sendiri mengakui kebenarannya. Begitulah... saat kebenaran ada didepanku, maka aku akan menggenggamnya dengan sangat kuat dan mempertaruhkan apapun untuk tidak melepasnya.
Suatu ketika, saat raga rapuh ini masih berseragam putih merah. Aku nyaris saja memutuskan jari pak Kades. Ya terang saja, si bapak tua renta itu dengan sangat lantang meneriaki ibu dengan panggilan “jalang” didepan seluruh wali murid yang hadir pada saat pembagian rapor. Pantaskah? Hal ini berawal dari ibuku yang terus mengkritik kinerja dan perhatian si bapak “tua” Kades terhadap satu-satunya SD yang ada didesa kecil kami itu. Merasa disudutkan si bapak “tua” kades tersebut malah mencaci maki ibuku dan menyebut ibuku sebagai wanita tak pantas yang penuh dengan kehinaan. Sekali lagi pantaskah? Didepan belasan murid kelas lima yang mungkin belum mengerti kosakata yang dipergunakan si bapak “tua” yang kini tanpa kades lagi.
Darahku telah sampai diubun-ubun, kulempar kertas rapor bayangan dengan seluruh nilai 9 yang tersenyum diatasnya. Dengan berlari keluar ku cari – cari sesuatu yang bisa menjadi alat pelampias kemarahanku. Di gudang sebelah Toilet kutemukan benda tersebut. Kembali kuberlari, kali ini dengan emosi yang semakin menjadi dan telah membutakan mata serta pemikiranku. Tepat didepan kelas pembagian rapor. Sebuah parang tajam mendarat di jari-jari tangan renta si bapak “tua” kades . Tanpa sedikitpun kata yang keluar dari mulutku. Diam sediam dan heningnya kelas yang tadinya hiruk pikuk oleh teriak caci maki si bapak “tua” kades.
Dalam lamunan keringatku mengucur. Pikirku ini sudah terlalu pagi untuk mengantuk dan tertidur, tapi mata ini ternyata sangat pembangkang, begitu berat kurasa. Hingga meja kayu ini terasa sangat hangat untukku melelalapkan raga lelah ini.
Terik kurasa, kali ini benar-benar terik matahari yang menerpa pipi. Keringat mengalir hingga leher. Sibiru bundar membuat kuberanjak dari tumpuan lelapku dimeja kayu, ia menghardikku dengan menunjuk angka 10. Pagi jam 10 hari selasa kedua dibulan oktober. Berjalan kebelakang kucoba mencari gelas dan air putih. Kerongkongan ini terasa sangat kering. Butuh tiga gelas air putih hingga ku benar-benar yakin kerongkonganku telah normal kembali. Kemudian, kurasa aku harus mencari air dengan jumlah yang lebih banyak. Mungkin bisa kutemukan dibelakang pintu bewarna coklat itu. Sebuah kamar mandi kotor dengan ubin hijau bermotif daun di lantai dan dindingnya. Kulit tipis kusam ini terasa sangat lengket dan telah menebar aroma yang sangat tidak bersahabat ke udara.
Darah yang mengalir di nadi ini terasa menurun temperaturnya setelah seluruh badan bertemu air. Sungguh sedikit menurunkan kadar ketidaknormalan pada tubuhku. Hal yang telah tiga hari tak kurasakan. Begitulah.. ini kali pertama aku mandi setelah mendapat kamera digital itu. Mudah-mudahan setelah ini keberanianku muncul untuk melihat isinya. Dan kemudian memutuskan langkah hidupku kedepan. Keberanian yang memang harus kubangkitkan. Karena hanya ada dua pilihan bagiku yang jatuh kelubang ini. Bangkit untuk berdiri dan beranjak, atau tetap berbaring lemah disini mencium tanah basah yang kotor.
Setelah merasa sangat bersih dan segar diraga. Kuambil tas hitam lusuh yang tergantung dibelakang pintu hijau tua disebelah tempat tidurku. Tas kecil pemberian seorang teman wanita, yang aku sendiri hingga kini tak tahu harus memanggilnya teman, sahabat atau siapalah. Ada sebuah rasa aneh yang kunikmati bertahun belakangan. Yang buat ku takut saat malam tapi jadi sangat sumringah saat mentari datang menjelang. Masih kuingat saat Dian, nama yang membekas hingga kini karena keramahan dan kehangatan tawa serta cerita yang datang bertubi dari mulutnya datang menyodorkan tangan dihari pertamaku berseragam putih abu-abu. Tak terlupa sedikitpun baik kata mapun tawanya yang khas olehku. Sebuah jenis tawa yang sangat aneh menurutku, karena harus melibatkan seluruh tubuhnya. Mulutnya yang kecil itu tak terlalu keras mengeluarkan suara tawa. Tapi tubuhnya yang juga kecil seakan ikut terbahak dengan lelucon garing yang terus buatku terpingkal. Diana Pramudani si kecil yang setia duduk disebelahku 3 tahun selama SMA.
Kamera digital tadi kumasukkan kedalam kantong dan kusimpan didalam tas. Selain itu, tas hitam ukuran menengah juga kuisi dengan beberapa pakaian. Setelah merasa cukup. Kusandang tas tadi dan melangkah keluar kamar kontrakan. Pada langkah ketiga kuingat ternyata ada satu benda yang kulupa. Benda malang yang tak mungkin tak kubawa saat bepergian. Si balok bertombol malang yang semalaman bergetar dimeja. Kuraih handphone yang kumaksud dan segera memasukkannya kedalam saku jeans hitam lusuh kebanggaanku. Karena ini jean paling layak kondisinya dari 3 buah jeans yang kupunya, paling tidak hingga kondisinya menyamai rekan-rekan terdahulu karena terlalu sering dipakai tapi terlalu jarang dicuci.

xxx


BAB DUA

Adalah sangat bodoh jika kau diam dan tunduk akan situasi dimana kau harus mengambil sebuah pilihan. Itulah aku saat itu. Hanya diam menggenggam kado merah kecil setelah sengaja berlari melewati berkilo-kilo jalan tanah untuk bertemu dengannya. Kali pertama bertemu dengannya selama 1 bulan setelah liburan sekolah waktu itu. Kebodohan anak kecil pikirku saat itu. Sebuah coretan saat itu kutulis pada malam kala kedewasaan lahir dan membijaksakan semua insan. Semua ini karena kata-kata indah . Yang selalu kupinta saat hujan. Kata-kata manis yang menghangatkan batin. Membuatkku menahannya keluar dari pintu dan tetap bersandar dipundak ini. Tapi pengecut memang, karena semua itu hanya tulisan yang tak pernah terbaca. Karena aku mencintainya dalam hati. Tak pernah nyata. Terus berbisik mengharap cinta, sungguh laki-laki malang yang larut dalam ketidakwajaran.
Entah gundah atau bahagia yang terasa di tiga hari menuju 20 tahun. Haruskah ku begitu takut dengan seribu ancaman waktu akan masa depan. Atau malah bersantai seolah waktu tak pernah berputar dan tetep jalan ditempat. Memilih merupakan hal yang harus tapi sangat tidak kusuka dari dulu. Sungguh bukanlah cerminan baik seorang anak laki-laki pertama dalam keluarga yang tumbuh bersama tinta merah.
Pilihan berat saat ini adalah satu diantara pilihan paling gila menurutku. Memilih pergi untuk tak sakit dan bertemu realita hidup atau berdiam disini dengan seribu satu harapan kosong yang hanya berikan mimpi.
Hey, tua renta penjilat. Teriak dalam hati penakut ini. Apa tak ada lagi hal yang harus kau lakukan selain menghasut dan memperkeruh suasana . Apa hanya itu tujuan hidup yang seharusnya telah kau pelajari dan terus kau bangga – banggakan setiap detik dalam nafas. Semua tak mewakili bentuk kenyataan yang terekam kemudian tertampil di setiap gerak pola tinggah.
Entah kenapa mereka yang mengagungkan kebenaran mutlak dalam hidup terus menggerogoti. Bertingkah seolah sangat benar dan membenarkan satu saja patokan kebenaran dalam hidup. Memandang satu dari 3600 sisi pandang saja , tanpa menoleh atau berpindah haluan pandang . Bukankah begitu banyak sisi pandang yang bisa kita pakai untuk melihat dan menilai sesuatu . Sungguh merugi karena tak memanfaatkan limpahan nikmat dan membiarkannya sia-sia.
Sungguh membuat suasana hati menjadi remuk redam dan mengacaukan pola pikir sehat yang selama ini kupakai . Entah kenapa emosi manusia labil sepertiku terpancing sangat cepat . Seperti bahan bakar yang terpicu api, membakar daun-daun kering di hati .
Mungkin sudah terlalu dalam luka sayatan yang mereka tinggalkan padaku . Hingga tak ada sedikitpun rasa simpati akan apapun yang berhubungan dengan mereka. Meski itu baik sekalaipun. Akibat dari endapan rasa benci yang terkompaksi menjadi batuan dendam dalam cekungan hati . Setiap gerak mereka serasa selalu akan merugi menyakitkanku. Sungguh setan hitam sehitam hatiku.
Suatu ketika saat mata air panas berpindah ke ubun-ubunku tak lain karena melihat pola tingkah carut marut seenak perut mereka kembali kulihat . Kali ini dengan objek langsung yang kuperkirakan adalah diriku . Semalaman suntuk kurangkai strategi perang mendahului pagi datang . Harus ku lancarkan seranga sebelum mereka sadar . Harus ku luluh lantakkan sebelum mereka dahulu membinasakanku . Ah.. sungguh prasa kata berlebihan dari ku yang hanya pemimpi . Tapi sungguh penggambaran keberadaan diriku dalam lingkaran setan dendam saat itu . Dan akhirnya aku tetusuk panah dendam sendiri , menjadi sangat panik dan berkaca pada cermin seekor keledai . Berdiam beku bisu dengan sgala hal berupa resiko yang menumpuk dan memukul kepala bagai sebuah godam .
Dari semua itu . Sungguh aku hanya seorang bocah yang terus melihat kearah jam dinding dan terus bertanya kenapa jam itu dibuat berputar kearah kanan . Kenapa tidak kearah kiri dengan pola arah lingkaran yang terbalik dari sekarang . dan kenapa semua manusia di bumi bundar ini mengikuti keinginan si pembuat jam dengan mengikuti pola lingkaran jam kearah kanan itu . Kenapa tidak kekiri ? kenapa tidak kearah kekiri ? aku lebih suka arah kiri .
Berpikir tentang ku dan alasan kenapa marah menjadi salah satu bagian terbesar dalam diri. Mungkin karena memang aku datang dalam hidup sebagai seorang manusia yang berpikir dengan kencendrungan pemilihan emosi ketimbang logika . Berdasar kepa penciptaan manusia yang berbeda dalam rupa, pola tingkah dan jalan hidup . Lalu kenapa bannyak orang yang seolah ingin menjadi orag lain dan tak bersyukur dengan apa yang ada pada dirinya . Berusaha berubah tingkah hingga paras , mencoba menjadi sosok seiingin mereka dan hidup bagai boneka .

...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar