Jumat, 17 Juni 2011

FASIES

Fasies

Fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi karakteristik yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur biologi memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang yang ada di bawah, atas dan di sekelilingnya.
Fasies umumnya dikelompokkan ke dalam facies association dimana fasies-fasies tersebut berhubungan secara genetis sehingga asosiasi fasies ini memiliki arti lingkungan. Dalam skala lebih luas asosiasi fasies bisa disebut atau dipandang sebagai basic architectural element dari suatu lingkungan pengendapan yang khas sehingga akan memberikan makna bentuk tiga dimensi tubuhnya (Walker dan James, 1992).
Menurut Silley (1985), fasies sedimen adalah suatu satuan batuan yang dapat dikenali dan dibedakan dengan satuan batuan yang lain atas dasar geometri, litologi, struktur sedimen, fosil, dan pola arus purbanya. Fasies sedimen merupakan produk dari proses pengendapan batuan sedimen di dalam suatu jenis lingkungan pengendapannya. Diagnosa lingkungan pengendapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan analisa faises sedimen, yang merangkum hasil interpretasi dari berbagai data, diantaranya :
1. Geometri :
a) regional dan lokal dari seismik (misal : progradasi, regresi, reef dan chanel)
b) intra-reservoir dari wireline log ( ketebalan dan distribusi reservoir )
2. Litologi : dari cutting, dan core ( glaukonit, carboneous detritus ) dikombinasi dengan log sumur (GR dan SP)
3. Paleontologi : dari fosil yang diamati dari cutting, core, atau side wall core.
4. Struktur sedimen : dari core

Model Fasies ( Facies Model )
Model fasies adalah miniatur umum dari sedimen yang spesifik. Model fasies adalah suatu model umum dari suatu sistem pengendapan yang khusus ( Walker , 1992).
Model fasies dapat diiterpretasikan sebagai urutan ideal dari fasies dengan diagram blok atau grafik dan kesamaan. Ringkasan model ini menunjukkan sebagai ukuran yang bertujuan untuk membandingkan framework dan sebagai penunjuk observasi masa depan. model fasies memberikan prediksi dari situasi geologi yang baru dan bentuk dasar dari interpretasi lingkungan. pada kondisi akhir hidrodinamik. Model fasies merupakan suatu cara untuk menyederhanakan, menyajikan, mengelompokkan, dan menginterpretasikan data yang diperoleh secara acak.
Ada bermacam-macam tipe fasies model, diantaranya adalah :
a) Model Geometrik berupa peta topografi, cross section, diagram blok tiga dimensi, dan bentuk lain ilustrasi grafik dasar pengendapan framework.
b) Model Geometrik empat dimensi adalah perubahan portray dalam erosi dan deposisi oleh waktu .
c) Model statistik digunakan oleh pekerja teknik, seperti regresi linear multiple, analisis trend permukaaan dan analisis faktor. Statistika model berfungsi untuk mengetahui beberapa parameter lingkungan pengendapan atau memprediksi respon dari suatu elemen dengan elemen lain dalam sebuah proses respon model.
2.4.2 Facies Sequence
Suatu unit yang secara relatif conform dan sekuen tersusun oleh fasies yang secara geneik berhubungan. Fasies ini disebut parasequence. Suatu sekuen ditentikan oleh sifat fisik lapisan itu sendiri bukan oleh waktu dan bukan oleh eustacy serta bukan ketebalan atau lamanya pengendapan dan tidak dari interpretasi global atau asalnya regional ( sea level change ). Sekuen analog dengan litostratigrafi, hanya ada perbedaan sudut pandang. sekuen berdasarkan genetically unit.
Ciri-ciri sequence boundary :
1. membatasi lapisan dari atas dan bawahnya.
2. terbentuk secara relatif sangat cepat (<10.000 tahun).
3. mempunyai suatu nilai dalam kronostratigrafi.
4. selaras yang berurutan dalam kronostratigrafi.
5. batas sekuen dapat ditentukan dengan ciri coarsening upward.
2.4.3 Asosiasi Fasies
Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies adalah suatu lapisan atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan karakteristik litologi, geometri dan sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan di sekitarnya. Suatu mekanisme yang bekerja serentak pada saat yang sama. Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk.
Sekelompok asosiasi fasies endapan fasies digunakan untuk mendefinisikan lingkungan sedimen tertentu. Sebagai contoh, semua fasies ditemukan di sebuah fluviatile lingkungan dapat dikelompokkan bersama-sama untuk menentukan fasies fluvial asosiasi.
Pembentukan dibagi menjadi empat fasies asosiasi (FAS), yaitu dari bawah ke atas. Litologi sedimen ini menggambarkan lingkungan yang didominasi oleh braided stream berenergi tinggi.
a. Asosiasi fasies 1
Asosiasi fasies terendah di unit didominasi oleh palung lintas-stratifikasi, tinggi energi braided stream yang membentuk dataran outwash sebuah sistem aluvial. Trace fosil yang hampir tidak ada, karena energi yang tinggi berarti depositional menggali organisme tidak dapat bertahan.
b. Asosiasi fasies 2
Fasies ini mencerminkan lingkungan yang lebih tenang, unit ini kadang-kadang terganggu oleh lensa dari FA1 sedimen. Bed berada di seluruh tipis, planar dan disortir dengan baik. Bed sekitar 5 cm (2 in) bentuk tebal 2 meter (7 ft) unit "bedded sandsheets"- lapisan batu pasit yang membentuk litologi dominan fasies ini.
Sudut rendah (<20 °), lintas-bentuk batu pasir berlapis unit hingga 50 cm (19,7 inci) tebal, kadang-kadang mencapai ketebalan sebanyak 2 meter (7 kaki). Arah arus di sini adalah ke arah selatan timur - hingga lereng - dan memperkuat interpretasi mereka sebagai eolian bukit pasir. Sebuah suite lebih lanjut lapisan padat berisi fosil jejak perkumpulan; lapisan lain beruang riak saat ini tanda, yang mungkin terbentuk di sungai yang dangkal, dengan membanjiri cekungan hosting mungkin pencipta jejak fosil. Cyclicity tidak hadir, menunjukkan bahwa, alih-alih acara musiman, kadang-kadang innundation didasarkan pada peristiwa-peristiwa tak terduga seperti badai, air yang berbeda-beda tabel, dan mengubah aliran kursus.
c. Asosiasi fasies 3
Fasies ini sangat mirip FA1, dengan peningkatan pasokan bahan clastic terwakili dalam rekor sedimen tdk halus, diurutkan buruk, fining upward ( menjadi semakin halus ke arah atas ), berkerikil palung lintas-unit tempat tidur hingga empat meter tebal. Jejak fosil langka. Braided stream disimpulkan sebagai kontrol dominan pada sedimentasi di fasies ini.
d. Asosiasi fasies 4
Asosiasi fasies paling atas muncul untuk mencerminkan sebuah lingkungan di pinggiran laut. Fining-up yang diamati pada 0,5 meter (2 kaki) hingga 2 meter (7 kaki) skala, dengan salib melalui seperai pada unit dasar arus overlain oleh riak. Baik shale batu pasir dan batugamping juga ada. Unit atas sangat bioturbated, dengan kelimpahan Skolithos - sebuah fosil biasanya ditemukan di lingkungan laut.

Hubungan Antara Fasies, Proses Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pada semua tempat di darat atau di bawah laut dipengaruhi oleh proses fisika dan kimia yang berlaku dan organisme yang hidup di bawah kondisi itu pada waktu itu. Oleh karena itu suatu lingkungan pengendapan dapat mencirikan proses-proses ini. Sebagai contoh, lingkungan fluvial (sungai) termasuk saluran ( channel ) yang membawa dan mengendapkan material pasiran atau kerikilan di atas bar di dalam channel.
Ketika sungai banjir, air menyebarkan sedimen yang relatif halus melewati daerah limpah banjir ( floodplain ) dimana sedimen ini diendapkan dalam bentuk lapis-lapis tipis. Terbentuklah tanah dan vegetasi tumbuh di daerah floodplain. Dalam satu rangkaian batuan sedimen channel dapat diwakili oleh lensa batupasir atau konglomerat yang menunjukkan struktur internal yang terbentuk oleh pengendapan pada bar channel. Setting floodplain akan diwakili oleh lapisan tipis batulumpur dan batupasir dengan akar-akar dan bukti-bukti lain berupa pembentukan tanah.
Dalam deskripsi batuan sedimen ke dalam lingkungan pengendapan, istilah fasies sering digunakan. Satu fasies batuan adalah tubuh batuan yang berciri khusus yang mencerminkan kondisi terbentuknya (Reading & Levell 1996). Mendeskripsi fasies suatu sedimen melibatkan dokumentasi semua karakteristik litologi, tekstur, struktur sedimen dan kandungan fosil yang dapat membantu dalam menentukan proses pembentukan. Jika cukup tersedia informasi fasies, suatu interpretasi lingkungan pengendapan dapat dibuat. Lensa batupasir mungkin menunjukkan channel sungai jika endapan floodplain ditemukan berasosiasi dengannya. Namun bagaimanapun, channel yang terisi dengan pasir terdapat juga di dalam setting lain, termasuk delta, lingkungan tidal dan lantai laut dalam. Pengenalan channel yang terbentuk bukanlah dasar yang cukup untuk menentukan lingkungan pengendapan.
Fasies pengendapan batuan sedimen dapat digunakan untuk menentukan kondisi lingkungan ketika sedimen terakumulasi. Lingkungan sedimen telah digambarkan dalam beberapa variasi yaitu :
1. Tempat pengendapan dan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang menunjukkan sifat khas dari setting pengendapan [Gould, 1972].
2. Kompleks dari kondisi fisika, kimia, dan biologi yang tertimbun [Krumbein dan Sloss, 1963].
3. Bagian dari permukaan bumi dimana menerangkan kondisi fisika, kimia, dan biologi dari daerah yang berdekatan [Selley, 1978].
4. Unit spasial pada kondisi fisika, kimia, dan biologi scara eksternal dan mempengaruhi pertumbuhan sedimen secara konstan untuk membentuk pengendapan yang khas [Shepard dan Moore, 1955].
Tiap lingkungan sedimen memiliki karakteristik akibat parameter fisika, kimia, dan biologi dalam fungsinya untuk menghasilkan suatu badan karakteristik sedimen oleh tekstur khusus, struktur, dan sifat komposisi. Hal tersebut biasa disebut sebagai fasies. Istilah fasies sendiri akan mengarah kepada perbedaan unit stratigrafi akibat pengaruh litologi, struktur, dan karakteristik organik yang terdeteksi di lapangan. Fasies sedimen merupakan suatu unit batuan yang memperlihatkan suatu pengendapan pada lingkungan.

MINYAK BUMI

Minyak bumi (Crude Oil) dan gas alam merupakan senyawa hidrokarbon. Rantai karbon yang menyusun minyak bumi dan gas alam memiliki jenis yang beragam dan tentunya dengan sifat dan karakteristik masing-masing. Sifat dan karakteristik dasar minyak bumi inilah yang menentukan perlakuan selanjutnya bagi minyak bumi itu sendiri pada pengolahannya. Hal ini juga akan mempengaruhi produk yang dihasilkan dari pengolahan minyak tersebut.
Berdasarkan model OWEM (OPEC World Energy Model), permintaan minyak dunia pada periode jangka menengah (2002-2010) diperkirakan meningkat sebesar 12 juta barel per hari (bph) menjadi 89 juta bph atau tumbuh rata-rata 1,8% per tahun. Sedangkan pada periode berikutnya (2010-2020), permintaan naik menjadi 106 juta bph dengan pertumbuhan sebesar 17 juta bph.
Pengetahuan tentang minyak bumi dan gas alam sangat penting untuk kita ketahui, mengingat minyak bumi dan gas alam adalah suatu sumber eneri yang tidak dapat diperbaharui, sedangkan penggunaan sumber energi ini dalam kehidupan kita sehari-hari cakupannya sangat luas dan cukup memegang peranan penting atau menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai contoh minyak bumi dan gas alam digunakan sebagai sumber energi yang banyak digunakan untuk memasak, kendaraan bermotor, dan industri, kedua bahan bakar tersebut berasal dari pelapukan sisa-sisa organisme sehingga disebut bahan bakar fosil.
Minyak bumi ( bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin: petrus ) , dijuluki juga sebagai emas hitam adalah cairan kental, coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar, yang berada di lapisan atas dari beberapa area di kerak bumi. Minyak bumi dan gas alam berasal dari jasad renik lautan, tumbuhan dan hewan yang mati sekitar 150 juta tahun yang lalu. Sisa-sisa organisme tersebut mengendap di dasar lautan, kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh tekanan lapisan di atasnya. Sementara itu, dengan meningkatnya tekanan dan suhu, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik tersebut dan mengubahnya menjadi minyak dan gas.
Proses pembentukan minyak bumi dan gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk meresap dalam batuan yang berpori seperti air dalam batu karang. Minyak dan gas dapat pula bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain, kemudian terkosentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap. Walupun minyak bumi dan gas alam terbentuk di dasar lautan, banyak sumber minyak bumi yang terdapat di daratan. Hal ini terjadi karena pergerakan kulit bumi, sehingga sebagian lautan menjadi daratan.
2.2 Teori Pembentukan Minyak Bumi
2.2.1. Teori Anorganik (Abiogenesis)
Barthelot (1866) mengemukakan bahwa di dalam minyak bumi terdapat logam alkali, yang dalam keadaan bebas dengan temperatur tinggi akan bersentuhan dengan CO2 membentuk asitilena. Kemudian Mandeleyev (1877) mengemukakan bahwa minyak bumi terbentuk akibat adanya pengaruh kerja uap pada karbida-karbida logam dalam bumi. Yang lebih ekstrim lagi adalah pernyataan beberapa ahli yang mengemukakan bahwa minyak bumi mulai terbentuk sejak zaman prasejarah, jauh sebelum bumi terbentuk dan bersamaan dengan proses terbentuknya bumi. Pernyataan tersebut berdasarkan fakta ditemukannya material hidrokarbon dalam beberapa batuan meteor dan di atmosfir beberapa planet lain.
Berdasarkan teori anorganik, pembentukan minyak bumi didasarkan pada proses kimia, yaitu :
a. Teori alkalisasi panas dengan CO2 (Berthelot)
Reaksi yang terjadi:
alkali metal + CO2 karbida
karbida + H2O ocetylena
C2H2 C6H6 komponen-komponen lain
Dengan kata lain bahwa didalam minyak bumi terdapat logam alkali dalam keadaan bebas dan bersuhu tinggi. Bila CO2 dari udara bersentuhan dengan alkali panas tadi maka akan terbentuk ocetylena. Ocetylena akan berubah menjadi benzena karena suhu tinggi. Kelemahan logam ini adalah logam alkali tidak terdapat bebas di kerak bumi.
b. Teori karbida panas dengan air (Mendeleyef)
Asumsi yang dipakai adalah ada karbida besi di dalam kerak bumi yang kemudian bersentuhan dengan air membentuk hidrokarbon, kelemahannya tidak cukup banyak karbida di alam.
2.2.2.Teori Organik (Biogenesis)
Berdasarkan teori Biogenesis, minyak bumi terbentuk karena adanya kebocoran kecil yang per¬manen dalam siklus karbon. Siklus karbon ini terjadi antara atmosfir dengan permukaan bumi, yang digambarkan dengan dua panah dengan arah yang berlawanan, dimana karbon diangkut dalam bentuk karbon dioksida (CO2). Pada arah pertama, karbon dioksida di atmosfir berasimilasi, artinya CO2 diekstrak dari atmosfir oleh organisme fotosintetik darat dan laut. Pada arah yang kedua CO2 dibebaskan kembali ke atmosfir melalui respirasi makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme).
P.G. Mackuire yang pertama kali mengemukakan pendapatnya bahwa minyak bumi berasal dari tumbuhan. Beberapa argumentasi telah dikemukakan untuk membuktikan bahwa minyak bumi berasal dari zat organik yaitu:
- Minyak bumi memiliki sifat dapat memutar bidang polarisasi,ini disebabkan oleh adanya kolesterol atau zat lemak yang terdapat dalam darah, sedangkan zat organik tidak terdapat dalam darah dan tidak dapat memutar bidang polarisasi.
- Minyak bumi mengandung porfirin atau zat kompleks yang terdiri dari hidrokarbon dengan unsur vanadium, nikel, dsb.
- Susunan hidrokarbon yang terdiri dari atom C dan H sangat mirip dengan zat organik, yang terdiri dari C, H dan O. Walaupun zat organik menggandung oksigen dan nitrogen.
- Hidrokarbon terdapat di dalam lapisan sedimen dan merupakan bagian integral sedimentasi.

Senin, 06 Juni 2011

nafas

Sungguh …
Bidadari ini nyata memberi hidup padaku
Memberi darah pada nadi, detak pada hidup

Kata mungkin tak mengungkap
Bahwa dia bahwa ia
Membuat nafas mencapai dasar dada
Membuatku hidup

Kata yang bertemu kata
dari perangkai kata
yang tak lagi bisa
berkata-kata

indah yang mengalir pada nafas
bahagia yang berhembus bersama darah
hinggga lidah terbata
tak mampu berkata

demi nama dari bulan cinta
aku meraih mimpi bersamamu
merangkai kata dengan lidahmu
aku mencintaimu


sungguh…
menginginkan berhenti bernafas
saat kepala bersandar padamu
merebahkan raga disisimu
aku ingin mati mendahuluimu … maaf

Sabtu, 12 Februari 2011

titik hitam

ini kisah ttg gembala yg sdg galau
memberi gambaran pada langit akan harapan
tapi menatapnya saja tak kuat ...
slalu saja seperti ini

aku tak mngerti kenepa kedewasaan yg kudefinisikan selalu berbeda
entah rasa dari caira pengisi otakku yang berbeda
atau memang aku bukanlah manusia seperti mereka

ini adalah hati dari kehati-hatian penjaga hati
yang membiarkan laut mengisi daratan dan samudra semakin luas

ini adalah gambaran warna hitam
cerita bertinta merah darah

inilah aku yang bercerita pada senja
menulis di kertas hitam
mencoba memaknai perputaran jarum jam
putaran kekanan yg tak kumengerti

slalu penuh tanya kenapa jarum jam terus berputar kekanan

aku bertanya, mencoba memakna
aku terus ingin hidup !!!

Jumat, 14 Januari 2011

TEKNIK PRESENTASI

Apa perbedaan antara presentasi yang baik dan yang buruk? Memberikan presentasi yang baik adalah mudah bila anda mengetahui karakteristik yang memisahkan antara presentasi yang baik dan presentasi yang buruk. Bandingkan karakteristik di bawah ini :

Presentasi yang baik

* Energi dan penuh semangat
* Kontak mata dengan audiens
* Berbicara dengan jelas dan cukup keras
* Sesekali bergerak saat berbicara
* Menggunakan anekdot dan humor yang sesuai
* Mengenakan pakaian yang serasi
* Argumen-argumen terstruktur dengan baik
* Slide dapat dibaca
* Tipe slide bervariasi
* Tidak lebih dari 1 slide per menit
* Variasi teknologi lain, misalnya video
* Selesai tepat waktu dan sediakan waktu untuk Tanya jawab.

Presentasi yang buruk

* Tujuan tidak jelas
* Postur tubuh kurang baik, tidak ada kontak mata, dan berbicara dengan suara yang monoton
* Pengulangan yang tidak perlu (dalam presentasi atau dari pembicara sebelumnya)
* Kurang persiapan
* Terlalu rumit/sederhana bagi audiens
* Terlalu banyak slide
* Slide tidak dapat dibaca
* Penggunaan efek-efek teknis Power Point yang berlebihan
* Penggunaan warna yang buruk pada slide
* Pengunaan peralatan teknis yang keliru
* Melebihi waktu yang dialokasikan untuk presentasi anda.




komponen-komponen dari presentasi yang baik
Suatu presentasi dapat dibagi menjadi tiga bagian, dengan masing-masing kumpulan pertanyaan yang harus Anda tanyakan pada diri Anda sendiri sebelum saat presentasi.

I. Pendahuluan

* Bagaimana cara Anda membina hubungan dengan audiens?
* Bagaimana cara Anda menangkap perhatian audiens? Akankah Anda menggunakan kutipan, gambar, fakta atau kisah?
* Apa maksud presentasi Anda dan bagaimana anda akan menyatakannya dengan jelas di awal pembicaraan sehingga audiens tahu apa yang akan disampaikan pada mereka?

II. Isi presentasi

* Apakah urutan logis untuk topik yang ingin Anda cakup dan dapatkah Anda membuat alur atau cerita untuk membantu audiens memahami arah presentasi anda?
* Apa 3-5 butir kunci yang ingin Anda sampaikan dan bagaimana cara Anda menggunakan data atau ilustrasi untuk menyampaikan butir-butir tersebut pada audiens?
* Bagaimana cara Anda meringkas butir-butir Anda, dan kemudian beralih ke bagian berikutnya dari presentasi Anda?

III. Ringkasan

* Ringkas semua butir kunci.
* Ilhami audiens untuk menggunakan informasi yang Anda sampaikan.

VOLKANISME DAN EVOLUSI GEOLOGI

VOLKANISME DAN EVOLUSI GEOLOGI

1. Distribusi batuan beku
Gunungapi adalah fenomena utama yang menyertai evolusi kulit bumi. Hal ini merupakan hasil nyata dapat dijumpai dalam seluruh waktu geologi. Mengambil konsep kevulkanikan dalam arti luas, sebagai sebuah proses internal maupun eksternal yang menyeluruh merupakan faktor utama dalam evolusi kerak bumi.
Kepulauan Indonesia merupakan reprasentasi singkat dari penjelasan ini. Sejumlah busur orogen dapat dicirikan dengan baik sejak zaman Paleosoikum sampai Resen. Sebagian besar diikuti oleh intrusi dan ekstrusi batuan beku dari berbagai umur. Pencirian dapat dibuat oleh batuan beku pra orogen, ofiolit hasil geosinklin, batuan hasil geantiklin berafinitas Pasifik, variasi orogen akhir dari batuan berafinitas Mediteran serta ekstrusi basal olivin pasca orogen.
Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang kurang stabil, dikelilingi oleh sistem busur vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini pada Palaesoikum Muda – Mesosoikum Tua. Siklus diatrofisma ini berawal di kepulauan Anambas dan menyebar ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton. Di kepulauan Anambas batuan beku basa (gabro, gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan kelompok batuan tua yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan ini sebanding dengan batuan Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat.
Di kepulauan Natuna batuan tertua terdiri dari batuan beku basal (gabro, diorit, diabas, norit, ampibolit, serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi ofiolit radiolaria yang dapat dikorelasikan dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari Formasi Danau (Molengraff) di bagian utara Kalimantan Barat. Seri yang lebih muda terdiri dari serpih dan konglomerat dengan batuan vulkanik basa berhubungan dengan batuan berumur Trias bagian atas di Kalimantan Barat dan di daerah paparan Sunda. Batuan ini diintrusi oleh batolit granit pasca Trias. Pulau Midai yang sangat kecil di barat daya kepulau Natuna merupakan vulkanik basal sub resen

Batuan di Kepulauan Riau-Lingga
Batuan vulkanik dapat disebandingkan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia. Mereka sebagian merupakan batuan berumur Permokarbon dan Trias. Intrusi granit kemungkinan terjadi antara zaman Permokarbon dan Trias Atas. Batolit granit di daerah ini sebagian besar berumur pasca Trias, atau mungkin Yura. Cebakan timah di daerah ini berhubungan dengan granit pasca Trias. Cebakan timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan dan Lingga) dan banyak dijumpai di sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep). Jalur timah ini meluas ke tenggara sampai Bangka dan Biliton. Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang dapat disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai busur yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang sekarang tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar (basement) regional dari batuan plutonik granit. Karakter kulit bumi paparan Sunda sangat berhubungan dengan intrusi granit pasca Trias (atau intra Yura), dan pengaruh ikutannya.

Evolusi Jalur Vulkanisme Kalimantan
Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat dimulai dengan adanya penurunan geosinklin setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra Karbon. Kegiatan ini diikuti intrusi batuan basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan andesit dari Seri Molengraaff’s Pulau Melayu). Fase awal dari perlipatan Permotrias, diikuti oleh penempatan batolit, terutama tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga batolit-batolit tersingkap, terjadi proses transgresi Trias Atas. Sedimentasi berlanjut di bagian barat jalur ini sampai Lias, dan diikuti oleh volkanisme asam sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura. Transgresi Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam. Pelipatan lemah terjadi akibat tekanan intrusi diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi berlanjut sebagai intrusi hipabisal dan ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen (terutama andesit hipersten horblenda, dengan berbagai verietas asam lainnya).
Di bagian Tersier bawah Cekungan Ketunggan juga merupakan diorit holokristalin seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven (1939). Pada zaman Kwarter, batuan basal muncul di seputar andetis horblena Niut, sehingga dapat dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra.Batuan plutonik “Schwaner Zona” merupakan bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat. Di sini, dari timur ke barat membentuk pusat sumbu sistem pegunungan Palezoikum muda sampai Mezosoikum tua Kalimantan Barat. Evolusi daerah ini dimulai dari pembentukan kompleks batuan dasar sekis kristalin dan geneis. Transgresi terjadi pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan psamitik dan sebagian endapan batugamping. Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang dimulai dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit. Setelah batuan plutonik tersingkap, pengendapan pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies vulkanik Trias Atas yang ditemukan di Zona Schwaner. Selanjutnya terjadi perlipatan yang diikuti oleh alterasi hidrotermal epimagmatik. Pengangkatan berlangsung sampai sekarang dengan disisipi intrusi selama Tersier .
Bagian selatan Zona Schwaner ini terdapat tiga kelompok batuan utama, yaitu batuan plutonik, batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek Ketapang. Bagian dari batuan komplek Matan dan Ketapang teralterasi oleh intrusi batolit granit. Batuan metamorf dari komplek Matan dapat dikorelasikan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia dan Kompleks Ketapang berumur Trias Atas. Batuan non metamorf di komleks tersebut diasumsikan sebanding dengan endapan Tersier Bawah dan batuan vulkanik di jalur sebelah utaranya. Di Kalimantan Tenggara terbentang Pegunungan Meratus berumur Pra Tersier berarah utara – selatan. Di Meratus perkembangan batuan beku relatif lebih muda dibanding dengan Kalimantan Barat. Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini berumur Mesosoikum akhir. Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika proses pembentukan pegunungan di Kalimantan Barat akan selesai. Zaman Yura geosinklin terbentuk, berikut pengendapan ofiolit dan radiolaria dari Formasi Alino. Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di Kalimantan Tenggara sama dengan batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat. Formasi Alino dan Paniungan dari zona Meratus diintrusi oleh batuan plutonik. Intrusi yang pertama ini merupakan variasi batuan plutonik asam yang sangat beragam (dunit, peridodit) yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik. Setelah pengangkatan pertama batuan non-vulkanik ini Zona Meratus mengalami penurunan kembali.
Pada zaman Kapur tengah sampai atas terjadi pengendapan dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat serta masa batuan plutonik peridotit dan granit. Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-vulkanik. Pada akhir Kapur Zona Meratus mengalami pengangkatan kedua, dan aktivitas vulkanik berlangsung sampai Tersier Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas siklus orogenesa Zona Meratus. Zona Meratus merupakan contoh baik untuk siklus pembentukan pegunungan.
Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan geosinklin yang diikuti dangan vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal mulainya pembentukan batuan plutonik basa dan ultrabasa. Penurunan geosinklin ini disertai dengan dua kali pengangkatan. Geantiklin pertama terjadi pada zaman Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik, berupa batolit granit yang diintrusikan ke pusat geantiklin. Pengangkatan kedua merupakan aktivitas vulkanik dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan

Maluku Utara
Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas magmatisme kawasan ini sama dengan di Filipina. Penurunan geosinklin mulai terjadi pada Mesosoikum awal. Transgresi di kelompok Halmahera kemungkinan terjadi setelah kepulauan Sula dan Obi. Batuan abisal di kelompok Halmahera secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit. Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi selama penurunan geosinklin. Ada jeda stratigrafi antara Eosen dan Neogen. Pada endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam. Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara, Ternate dan pulau-pulau kecil lainnya.

Sulawesi
Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun pulau ini. Bagian utara dan barat Sulawesi disusun oleh batuan beku alkali kapur berumur Tersier. Sepanjang pantai barat sampai lengan selatan dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkali-kapur yang melampar luas. Terpisah dengan batuan ini terdapat dilengan utara.
Di Sulawesi timur dan tenggara peridotit dan batuan ofiolit lainnya tersingkap luas, dengan batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada. Di Sulawesi utara, barat dan tengah hanya didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit berupa batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit banyak terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di lengan timur.

Maluku Utara dan Busur Banda
Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan Sistem Pegunungan Circum-Australia. Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai dengan penurunan geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini merupakan pusat diatrofisma. Dari sini deformasi menyebar ke arah utara (Sistem Seram) dan selatan (Sistem Tanimbar), yang di dihubungkan oleh sektor Kai dan busur Banda yang hadir sampai Tersier.
Evolusi busur banda ini secara umum sesuai dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia.Saat ini Sistem usur Banda mempunyai anomali isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa pada jalur ini terdapat energi potensial yang diperkirakan merupakan busur inti dan kerak batuan sialik dengan densitas rendah. Busur ini belum terkonsolidasi dengan kuat, mempunyai temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan kekentalan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya magma aktif yang memberikan gaya vertikal jika kondisi memungkinkan.
Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi orogenesa di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis batuan beku dalam sistem ini (Roevei, 1940). Batuan tertua di Timor berumur Perm, berupa kelompok basal trakit yang mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan vulkanik ini dierupsikan pada awal pembentukan geosinklin. Setelah itu Sistem Orogenesa Timor berkembang. Seri lain berupa komplek ofiolit – split, yang berumur Pra Miosen. Batuan ini merupakan bagian dalam dari geosinklin, yang juga dapat dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda. Batuan beku ini mempunyai karakter Mediteran yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat potasik, dierupsikan pada saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur vulkanik. Contoh dari batuan ini adalah lava yang mengandung leusit dari erupsi G. Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian dalam busur vulkanik Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit Tersier. Di Flores terdapat bantuan berumur intra Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus aktivitas vulkanik: Neogen Tua, Neogen muda dan Kwarter sampai Resen. Dua siklus tertua didorong oleh intrusi batolit granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah permukaan. Pengangkatan terakhir terjadi pada Plio-Plistosen disebabkan oleh pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini merupakan tipikal pembentukan gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar cekungan.

Jawa
Jawa merupakan bagian dalam dari busur vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada zaman Mesosoikum jalur ini berada di bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara. Di sini ofiolit bercampur dengan sedimen Pra Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo dan Ciletuh, Jawa Barat. Batuan Pra Tersier di Luh Ulo terdiri dari sepertinit, gabro dan diabas (Harloff, 1933). Batuan Pra Tersier di Ciletuh juga mengandung batuan beku basa dan asam yang termetamorfosakan (gabro, peridotit dan serpentinit) dengan sekis klorit dan filit.
Pada akhir geantiklin Mesosoikum terjadi proses pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik. Akhir Tersier merupakan perioda penurunan. Endapan non-vulkanik berumur Eosen diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra Tersier. Selanjutnya pada akhir Paleogen magma sampai permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai, dengan beberapa menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari vulkanik Pasifik).Pada Miosen tengah jalur vulkanik Jawa didorong oleh batolit granit sampai granodiorit, sehingga menghasilkan vulkanik-vulkanik Andesit Tua yang sangat basa. Batuan beku holokristalin Intra Miosen sekarang tersingkap di Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya (misalnya tufa dasit atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik berafinitas Pasifik.Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen akhir, yang diakhiri oleh pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus sejak Kwarter sampai sekarang. Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga vulkanik ini adalah intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang menunjukkan keanekaragaman batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona Bogor (Jawa Barat) dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah menunjukkan karakter essexitic. Pada zaman Kwarter gunungapi yang menghasilkan leusit hadir di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik (Muria, Ringgit).

Sumatra
Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara seperti geantiklin Jawa Selatan. Selama Mesosoikum jalur ini merupakan bagian muka busur dari geantiklin yang berukuran lebih luas dari Bukit Barisan saat ini. Endapan di geosinklinal terlipat kuat membetuk isoklin dengan arah gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan masih terdapat batuan non-vulkanik. Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan berumur Kapur masih terdapat granit yang telah mengalami perlipatan kuat. Busur ini dimulai dari pulau Berhala di selat Malaka utara, meluas di sepanjang Suligi-Lipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau Singkarak dan Jambi. Umur granit di bagian utara jalur (pada granit pembawa timah di Berhala dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan berumur Karbon dan Permokarbon, dan sebagian pasca Trias. Kemungkinan granit di Lampung yang mengintrusi sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar tua merupakan bagian dari lipatan ini.
Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas vulkanisma. Siklus pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh pengangkatan intra Miosen. Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang menjadi dasar dari batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti oleh erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam dengan jumlah yang sangat besar.
Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas vulkanik Pasifik terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen. Selanjutnya erupsi paroksismal itu ditutup oleh letusan magma batolit granit yang berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau, Toba). Demikian juga tufa asam Lampung di Sumatra selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan di selat Sunda dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan kerucut-kerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada erupsi efusif basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung. Irupsi celah ini terdapat di tepi perisai kontinen Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan erupsi efusif basal di Midai, Niut - Karimun Jawa.
Kepulauan barat Sumatra memberi gambaran yang berbeda dari busur luar Sistem Pegunungan Sunda. Selama zaman Tersier jalur ini merupaka palung busur dari Zona Barisan. Pada zaman Eosen, intrusi basa dan ultrabasa yang terserpentinitisasi hadir. Pada zaman Kwarter pembentukan busur geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut sampai saat ini. Anomali isostatik negatif pada jalur ini menandakan adanya energi potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama dari palung busur ini seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari evolusi orogen di Kepulauan Indonesia.

2. Evolusi Magmatik dan Orogenesa
Tinjauan terhadap hubungan antara orogenesa dan aktivitas batuan beku di kepulauan Indonesia akan mengikuti kecenderungan aturan umum.
• Batuan-batuan dengan afinitas Atlantik berada di luar jalur orogen. Erupsi akan terjadi selama tahap awal proses penurunan cekungan geosinklin, sebagai awal pembentukan pegunungan.
• Siklus pembentukan pegunungan dimulai dengan penurunan geosinklin. Pada pusat geosinklin diatrofisma terbentuk. Orogenesis memencar secara radial sebagai gelombang permukaan yang besar (Anambas, Banda).
• Batuan-batuan ofiolit dengan komposisi basa dan ultrabasa dierupsikan dari cekungan muka busur dari gelombang permukaan tersebut. Gunungapi bawah laut ini berasosiasi dengan rijang radiolaria dan endapan-endapan laut dalam.
• Setelah perioda penurunan geosinklin berlangsung (dalam jutaan atau puluhan juta tahun) muka busur melengkung ke atas membentuk struktur geantiklin. Secara umum beberapa peristiwa pengangkatan terjadi, dan disisipi oleh fase penurunan yang tenang.
• Pengangkatan geantiklin jalur orogen secara umum menghadirkan batuan non-vulkanik, yang selanjutnya diikuti oleh aktifitas vulkanik orogen dengan batuan-batuan alkali-kapur dari afinitas Pasifik. Hanya geantiklin termuda dari Sistem Pegunungan Sunda dan Filipina yang menunjukkan cekungan samudra selama terjadi pengangkatan. Tahap akhir dari evolusi jalur orogen selalu menghadirkan batuan beku potasik dengan afinitas Mediteran.
• Setelah melewati beberapa fase diatrofisma dengan berbagai pengaruh intrusi dan ekstrusi batuan beku, jalur orogen terkonsolidasikan menjadi kerak yang kaku seperti karakter kontinen. Fokus diatrofisma yang asli akhirnya terkonsolidasikan ke blok kerak yang kaku, yaitu pada jalur orogen yang telah menyebar radial setahap demi setahap ke seluruh busur.
• Jalur orogen ini, yang berada di sekitar daerah diatrofisma tua yang telah terkonsolidasi, dapat dibedakan dari busur dalam vulkanik dan busur luar non-vulkanik melalui struktur lipatan sentrifugal. Daerah yang terkonsolidasikan dapat membentuk peneplain di bawah permukaan, atau berada di bawah kerak utama sehingga mencapai kedalaman beberapa kilometer di bawah permukaan laut.
• Di sepanjang tepi Sistem Dataran Sunda basal olivin dierupsikan pada zaman Kwarter (Midai, Niut, Murai, Beluh, Karimunjawa, Sukadana).

3. Asal Batuan beku
Sulit menguraikan hubungan timbal balik antara berbagai gejala tektonogenesis, vulkanik, anomali gravitasi dan gempabumi, apabila tidak mempunyai hipotesis kerja tentang asal mula magma. Penting melalukan penafsiran evolusi dan merekontruksi hubungannya agar mampu mempunyai konsep yang umum mengenai asal mula batuan beku, yang selaras dengan semua hal yang berhubungan dengan geologi, vulkanologi dan geofisika. Sebagian besar teori geotektonik yang diusulkan di masa lalu melalaikan sisi ini. Nampaknya evolusi geokimia bumi mempunyai arti penting bagi evolusi orogen ( van Bemmelen, 1948)

Asal Berbagai Variasi Magma Di Indonesia
Di Indonesia terdapat berbagai rangkaian batuan beku. Hubungan satu dengan yang lainnya dapat dicermati.Tahap pra orogen berupa pembentukan suatu cekungan geosinklin di selama Palaesoikum. Proses ini termasuk yang terjadi di Timor oleh erupsi traki basal dari seri Lautan Atlantik (De Roever, 1940). Tahapan ini diikuti oleh suatu evolusi orogen di dalam geosinklin selama Mesosoikum, Tersier dan Kwarter sebagai proses pembentukan jalur geantiklin dan cekungan geosinklin. Secara bertahap jalur orogen ini menyebar keluar pusat cekungan geosinklin. Foredeep melengkung atas ke dalam suatu geantiklin dan bergeser keluar lebih jauh.
Selanjutnya pada dasar cekungan orogen, ofiolit basa sampai ultrabasa mengalami ekstrusi dan intrusi dari asosiasi ofiolit radiolaria dan intrusi peridotit dan serpentinit. Selama proses pembentukan geantiklin batuan ofiolit bercampur dengan naiknya migmatit sehingga dasar tubuh batolit granit terjadi. Biasanya terdapat tiga atau lebih gerakan pengangkatan pada setiap jalur orogen. Pengangkatan pertama masih bukan batuan volkanik, pengangkatan kedua kedua proses erupsi lava basa, menengah maupun asam, dari seri lava Pasifik, dan langkah ketiga vulkanik padam. Masing-masing pengangkatan diikuti oleh intrusi batuan plutonik berkomposisi menegah dan asam.
Tahap lanjut dari evolusi jalur orogen ini adalah hadirnya erupsi batuan tipe Mediteran. Akhirnya tahap akhir orogen sebagai tahap pembentukan kontinen terbetuk. Dataran Sunda telah dikonsolidasikan oleh tahap diastrofisme Mesosoikum Tua, sedang proses pembentukan pegunungan berlanjut bergeser ke keluar membentuk orogen jalur Sunda saat ini. Pusat Datara Sunda sekarang membentuk baselevel sebagai suatu peneplain khas. Pada akhir Kwarter di sepanjang tepi blok yang terkonsolidasi ini terjadi aliran lava basal olivine.Cakupan batuan beku begitu luas dan sangat berkaitan dengan evolusi kerak bumi. Ini memberi kesan bahwa peristiwa yang berkaitan dengan proses yang terjadi pada pembentukan batuan beku merupakan hal penting dalam proses pembentukan pegunungan. Pertanyaan selanjutnya, dengan demikian, sebenarnya adalah, dalam hal ini mana magma juvenile dan mana magma induk? Kelihatannya hanya erupsi awal basal trakitik yang dapat diperlakukan seperti itu. Pra kondisi kerak bumi berkomposisi sialik berumur Perm harus diikuti oleh kekar dan patahan utama agar magma di bawah permukaan dapat hadir ke permukaan. Steinmann, Kossmat, dkk mempertimbangkan ophiolites berasal dari magma juvenil.
Tetapi peridotites, di Sulawesi Timur mengalir ke permukaan dengan tenang dan menggantikan seluruh komplek batuan dasar yang kristalin. Dia tidak diproduksi oleh diferensiasi kristalisasi dari intrusi basal yang sangat besar, sebab mereka secara langsung ditimpali oleh endapan bawah laut berumur Kapur yang berumur sama dengan intrusi tersebut. Di Seram Barat, Manipa dan Kellang bagian intrusi tersingkap. Situasi yang sama ditemukan di Kawasan Meratus, ketika tubuh peridotit secara berturut-turut diintrusi dan digantikan (replace) oleh gabro, diorit, diorit kuarsa dan granit plagioklas. Situasi ini justru kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi pada kasus diferensiasi kristalisasi dan fragsinasi. Batuan menjadi lebih asam dengan terus bertambahnya kedalaman. Anomali isostatik negatif di Sulawesi Timur dan Seram menunjukkan bahwa peridotit menandakan adanya masa peridotit yang sekarang mendasari kaki pegunungan granit.Situasi ini mendorong ke arah pemikiran bahwa pada seri batuan basa sampai ultrabasa dari geosinklin berukuran sangat besar, bagian permukaannya merupakan akumulasi magma asam (granit). Ini merupakan hasil berbagai proses evolusi kimia di bagian permukaan kerak bumi.
Proses hypo-differentiation tersebut merupakan hasil gangguan keseimbangan lapisan tengah basal tectonosphere karena penurunan cekungan. Penurunan cekungan menyebabkan terjadinya pembebasan tekanan akibat relief, sekaligus terjadi peningkatan gradien geotermal di lapisan dasar dan menengah. Dengan proses hypo-differentiation tersebut, dalam waktu berjuta-juta tahun, kerak basal akan terbagi-bagi menjadi batuan ultrabasa (anti root) dan granit (mountain-root).
Mengenai gunungapi strato dapat dipahami sebagai konsentrasi saluran-saluran dari peningkatan pancaran dalam jumlah yang besar dari bagian magma yang mudah menguap. Gunungapi itu merupakan cerobong di atas intrusi batolit. Kita tidak bisa bayangkan pernah magma juvenil bisa naik menerobos astenolit dan membuat zona migmatit selama tahapan evolusi geantiklin dari suatu jalur orogen. Kedalaman intrusi dari batolit granodiorit Tersier Tengah pasti tidak lebih dari 2 km, dan granodiorit Tersier Akhir di Wetar dan Lirang mungkin lebih tinggi. Pada kasus erupsi paroksismal Kwarter Ranau dan Toba di Sumatra, bagian puncak intrusi granit diledakkan. Oleh karena itu magma palingenic Pacific mungkin dibentuk dekat di bawah permukaan. Intrusi dangkal ini berasimilasi dengan batugamping Tersier, sehingga menyebabkan menyimpang dari kebiasaan (menghasilkan produk letusan Mediteran. Akhirnya, setelah konsolidasi dari kerangka batuan beku jalur orogen ini, kekar utama memotong kerak bumi sampai ke lapisan magma. Erupsi efusif basal olivine dari Daratan Sunda lekat menyerupai batuan basal dari jalur orogen. Mereka dicemari oleh material kerak. Oleh karena itu magma induk riil mungkin lebih banyak trakit basal.

BATUBARA

II.1. Materi Pembentuk Batubara
Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:
• Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Hasil endapan batubara dari periode ini sangat sedikit.
• Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batubara dari periode ini.
• Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tumbuh-tumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
• Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
• Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.

II.2. Proses Pembentukan Batubara
Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batubara disebut dengan istilah pembatubaraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:
• Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit (batubara lunak) terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
• Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya antrasit (kelas batubara tertinggi).
Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing --masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan.

Tabel 1. Contoh Analisis Batubara (daf based)
(Sumber: Sekitan no Kisou Chishiki)

II.3. Tektonik Lempeng dan Pengendapan
Tektonisme adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkan terjadinya dislokasi (perubahan letak) patahan dan retakan pada kulit bumi dan batuan.
Kecepatan pengendapan erat kaitannya dengan pengangkatan pada daerah tektonik aktif. Umumnya pada daerah tektonik aktif kecepatan pengangkatan lebih besar dibandingkan kecepatan erosi, sehingga terbentuk morfologi tinggi. Jadi sedimen diendapkan di laut, diubah menjadi batuan, menempel pada benua dan terangkat sampai tinggi, oleh gaya tektonik.
Ada beberapa endapan yang sangat tebal yang berkaitan dengan kerangka tektonik yang spesifik, misalnya dimana benua terpisah pada pusat pemekaran perlahan-lahan terakumulasi sediment tebal sepanjang tepi benua sebagai endapan yang terbawa arus mengisi cekungan laut yang berkembang, seperti yang terjadi di atlantik, Amerika utara. Di bawah paparan benua dijumpai tumpukan tebal batuan sediment laut dangkal. hal ini dapat terjadi karena pada saat akumulasi cekungannya perlahan-lahan menurun.
Pada zona tumbukan dalam (collission) benua dijumpai akumulasi sediment kasar yang tebal hasil rombakan pegunungan yang terangkat. Diendapkan sebagai endapan aliran sungai berupa konglomerat dan batupasir kasar, seperti yang dijumpai pada bagian selatan pegungan Himalaya. Sediment halusnya diendapkan di laut, di teluk Benggala sejak pengangkatan mulai.

II.4. Idetifikasi Faktor Geotektonik
Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang kompleks. Terdapat serangkaian faktor geotektonik yang diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu:
1. Posisi Geoteknik
Merupakan suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geoteknik merupakan faktor yang dominan karena akan mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase yang terakhir, posisi geoteknik mempengaruhi proses metamorfosa organik dan struktur dari lapangan batubara melalui masa sejarah setelah pengendapan akhir.
2. Topografi (Morfologi)
Morfologi dari cekungan saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara terbentuk. Topografi memiliki efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya bergantung pada posisi geoteknik.
3. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika penurunan dan pengendapan gambut seimbang maka akan menghasilkan endapan batubara tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapannya yang menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara yang terbentuk.
4. Umur geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam tumbuhan. Semakin tua umur batuan maka makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Akan tetapi pada batubara yang memiliki umur geolgi lebih tua selalu ada resiko mengalami deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan pada lapisan batubara. Faktor erosi dapat merusak semua bagian dari endapan batubara.
5. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara. Selain itu merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora pada kondisi yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi geografi dan posisi geoteknik.